Ulos sendiri pada zaman dahulu kala, tepatnya sebelum orang Batak mengenal tekstil buatan luar Batak, digunakan sebagai pakaian sehari – hari, baik kaum pria maupun wanita. Bila dipakai kaum pria menutupi bagian bawah disebut singkot dan disebut tali – tali atau detal bila digunakan sebagai penutup kepala. Sementara bila kaum wanita menggunakan ulos untuk menutupi tubuhnya bagian bawah hingga dada maka disebut baen. Disebut ampe – ampe apabila ulos tersebut digunakan sebagai selendang dan saong bila digunakan sebagai penutup kepala. Selain itu, ulos kala itu juga kerap digunakan sebagai selimut maupun alat menggendong.
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/
anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Semenjak datangnya pengaruh bangsa barat melalui para misionaris dan Kolonial Belanda, penggunaan ulos dalam keseharian mulai ditinggalkan, termasuk dalam tata cara berbusana, kecuali pada acara – acara tertentu. Pergeseran dalam cara berbusana ini bukan berarti hilangnya peran ulos dalam kehidupan masyarakat Batak. Malah sebagian puak Batak, seperti Toba dan Pak – Pak ulos ditempatkan dalam suatu posisi yang sangat tinggi, serta memiliki makna spiritual.
Pada dasarnya, ulos merupakan hasil peradaban masyarakat Batak dalam kurun waktu tertentu. Sedikit menoleh ke belakang, orang Batak sudah mengenal ulos sejak abad ke-14 selaras dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Panjangnya ulos bisa mencapai sekitar 2 meter dan lebar 70 cm, biasanya ditenun dengan tangan oleh perempuan Batak di bawah kolong rumah. Butuh waktu berminggu – minggu hingga bulanan untuk menyelesaikan ulos, tergantung tingkat kerumitan motif.
Dalam perkembangannya, selain digunakan sebagai pakaian sehari – hari, ulos juga digunakan sebagai perantara pemberi berkat dari seseorang yang dihormati. Oleh karena itu dikalangan orang Batak dikenal dengan istilah ‘mangulosi’ alias memberi ulos. Dalam mangulosi, ada aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu hanya boleh mangulosi mereka yang dalam kekerabatan berada di bawahnya. Misalnya orang tua mangulosi anaknya, tapi anak tidak boleh mangulosi orang tua. Dan saat mangulosi, tidak sembarangan jenis ulos yang dapat diberikan.
Selain itu, penggunaan warna sintetis untuk pakaian, akibat pengaruh kolonial Belanda pun mulai dialihkan pada pewarnaan alam. Hingga, selain ramah lingkungan, ulos kini juga hadir lebih lembut, mahal namun tetap mencitrakan ciri khas Batak
0 komentar: